![]() |
sumber gambar: gospelworldview.wordpress.com |
Sejarah Pers Mahasiswa
Mahasiswa merupakan sebutan bagi orang yang
sedang menempuh pendidikan di perguruan inggi. Mahasiswa digadang-gadang sebagai calon intektual dan cendekiawan muda dalam masyarakat. Masa depan suatu negara
ditentukan oleh para pemuda penerus bangsa yang salah satunya adalah mahasiswa.
Mahasiswa memiliki peranan penting dalam kemajuan bangsa. Hal ini dikarenakan
mahasiswa memiliki tugas dan peran diantaranya sebagai Agen Perubahan, Kontrol
Sosial, memiliki Kekuatan Moral tinggi. Kekritisan dalam menyikapi
persoalan-persoalan di masyarakat juga menjadi tugas yang diemban oleh seorang
mahasiswa.
Dalam sejarah, pemberitaan-pemberitaan yang
ada di masa perkembangan bangsa Indonesia tak lepas dari peran mahasiswa.
Mahasiswa dengan semangat perjuangan ikut andil dalam memenangkan kemerdekaan. Salah
satu bukti perjuangan tersebut dibuktikan dengan kehadiran Pers Mahasiswa
(Persma). Pers mahasiswal lahir dari rahim perjuangan para mahasiswa. Pers mahasiswa merupakan kumpulan sekelompok
mahasiswa yang melakukan praktik jurnalistik di lingkungan Perguruan Tinggi.
Praktik Jurnalistik oleh mahasiswa sejatinya
sudah bermula sejak puluhan tahun sebelum didirikan Universitas di Indonesia.
Pada masa itu rezim kolonial Belanda menguasai Hindia Belanda, sehingga sampai
tahun 1920an belum ada perguruan tinggi yang didirikan. Beruntung, pribumi mendapatkan kesempatan dari politik
etnis untuk melajutkan pendidikan tinggi di Belanda, meskipun hanya segelintir
dan dari kalangan pribumi yang kaya saja. Segelintir mahasiswa yang ada di Belanda
melakukan pertemuan dengan tujuan yang sama dan kesadaran akan perjuangan
kemerdekaan dari penjajah. Dari pertemuan-pertemuan tersebut lahirlah sebuah
organisasi sosial pada tahun 1908 yaitu
organisasi Indische Vereniging. Organisasi tersebut kemudian berkembang
menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI), diantaranya Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir,
Ali Sastroamidjojo dan Soetomo.
Tujuan awal berdirinya Perhimpoenan Indonesia
(PI) mulanya adalah menyerukan persatuan atas dasar nasionalisme untuk
melepaskan bangsa Indonesia dari penderitaan dan cengkraman kolonialisme
Belanda masa itu. Gagasan serta kritikan-kritikan terhadap kolonial Belanda
tertuang dalam surat kabar yaitu majalah Hindia Poetra. Majalah Hindia
Poetra bergerak dinamis dalam menyampaikan kritikannya terhadap Belanda, hingga majalah tersebut kemudian berganti
nama menjadi Indonesia Merdeka dengan menerbitkan salah satu edisi
khusus yang sampai sekarang dikenal dengan nama Manifesto 1925.
Pada
tahun 1942 kolonial Belanda terusir oleh
fasis militer Jepang. Fasis tersebut membubarkan paksa semua oganisasi
dan pergerakan mahasiswa yang berkembang di Indonesia termasuk organisasi pers.
Mereka juga menutup semua peguruan tinggi yang ada. Hanya organisasi-organisasi
bentukan dari razim fasis Jepang yang boleh didirikan. Namun, dalam situasi
semacam itu, masih ada sebagian mahasiswa yang tetap mempertahankan
organisasinya dan memperjuangkan kemerdekaannya, dengan melakukan diskusi-diskusi
gelap serta menyebarkan selebaran-selebaran secara sembunyi-sembunyi.
Di era revolusi tahun 1945-1949, mahasiswa semakin gencar mempertahankan
Republik Indonesia. Para pemuda dan mahasiswa bergabung dalam organisasi pemuda
perjuangan yang membela Republik Indonesia seperti Angkatan Pemuda Indonesia
(API). Meskipun pada waktu itu perkembangan perguruan tinggi masih kurang dan
tidak paralel dengan pertumbuhan pers mahasiswa secara khusus. Situasi ini
terjadi karena peresmian perguruan
tinggi pada tahun 1949 masih dibawah rezim kolonial Belanda yang masih
berkeinginan menjajah bangsa Indonesia.
Pada dekade 1950an kemerdekaan Indonesia diakui
secara luas oleh negara-negara lain. Dekade ini menjadi awal berdirilah
perguruan-perguruan tinggi milik Indonesia, yang kemudian memunculkan kembali
organisasi-organisasi pelajar dan mahasiswa termasuk pers mahasiswa (Persma). Banyak
persma bemunculan di peguruan tinggi. Semangat mereka berkobar dalam menyerukan
aspirasi dan ide-idenya. Pada masa ini, persma mencapai puncak emasnya. Dan
bahkan sempat dikatakan bahwa pers
mahasiswa lebih unggul dari pers-pers umum. Dilihat dari produksivitasnya dan
perkembangannya yang pesat dalam komesial dan redaksionalnya.
Pada konferensi I bagi pers mahasiswa,
muncullah Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) dengan
diketuai T Yacob dan Serikat
Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI) dengan diketuai Nugroho
Notosusanto. Yang kemudian, pada sekitar tahun 1958 terjadi Konferensi
Pers Mahasiswa II dengan hasil meleburkan IWMI menjadi Ikatan Pers Mahasiswa
Indonesia (IPMI). Organisasi ini berbarengan dengan transisi pemerintahan Demokrasi
Liberal menuju Demokrasi Terpimpin.
Masa transisi menuju Demokrasi Terpimpin
menjadikan pers khususnya pers mahasiswa dirundung kegalauan. Pers mahasiswa
dan media diawasi ketat oleh pemerintah. Media pers yang tidak mencantumkan
nama MANIPOL USDEK dalam dasar organisasinya mendapatkan ancaman pembredelan.
Saat itu persma benar-benar terjebak dalam situasi yang rumit. Banyak
permasalahan-permasalahan yang muncul. Pers mahasiswa yang memiliki prinsip
independen mengalami krisis eksistensi karena dalam tubuh IPMI terdapat
kegelisahan yang timbul dari anggotanya. Ada sebagian anggota yang tetap keukeuh
mempertahankan sikap independennya sebagai pers tetapi ada juga sebagian yang
menginginkan untuk mengarah pada pola partisipan.
Pers mahasiswa dan birokrat pada masa pemeintah
Orde Baru mulai berjalan berdampingan
tanpa ada perseteruan. Akan tetapi hal tersebut tidaklah berlangsung lama.
Mahasiswa mulai diawasi kembali setiap gerak geriknya hingga tahun 1970.
Berbagai ancaman dilontarkan oleh pemerintah termasuk melalui senjata utamanya,
yaitu pembredelan atau pemberhentian izin terbit kepada pers mahasiswa yang
mengkritik kebijakan pemerintah. Kebebasan pers mulai tenggelam. Semua tulisan
yang diterbitkan oleh pers dimonitori oleh pemerintah secara langsung.
Keadaan Pers Mahasiswa Sekarang
Puncak kemenangan mahasiswa terjadi pada Mei
1998. Dimana pada masa itu ribuan mahasiswa mengeluarkan aspirasinya secara
terang-terangan. Demo besar-besaran yang terjadi di gedung MPR menuntun
rezim soeharto untuk mundur dari
jabatannya menjadi Presiden RI. Perjuangan tersebut membuahkan hasil, teriakan
dan sorakan yang tak ada hentinya mendapat bayaran yang setimpal. Melalui
pidatonya Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai Presiden RI, dan digantikan oleh Wakilnya B.J Habibie. Kemenangan digenggam oleh mahasiswa dan juga
pers mahasiswa yang ikut andil dalam perjuangan tersebut. Kebebasan telah
diraih oleh Pers Mahasiswa. Di tambah lagi, pada tanggal 5 Juni 1998, saat
Yunus Yosfiah selaku Menteri Penerangan RI Kabinet Reformasi Pembangunan di
bawah Presiden B.J Habibie, memerdekaan insan Pers dengan mencabut Peraturan
Menteri Penerangan RI No. 01/PER/MENPEN/1984 tentang Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP). Sejak saat itu, pers mulai berkembang pesat hingga
sekarang.
Sejarah pers mahasiswa yang sangat kental
akan perjuangan dan pelawanan, pada era sekarang semakin meluntur. Suara-suara
sorakan dari aspirasi rakyat kini tidak terdengar lantang. Mahasiswa seakan
apatis terhadap hal-hal tersebut. Padahal peran mahasiswa sebagai kaum agen of change dan social
control seharusnya menjadi kepekaaan untuk mengawal demokrasi dan
kebijakan-kebijakan pemerintah. Eksistensi dari pers mahasiswa saat ini
sangat jauh berbeda dari masa-masa awal
munculnya pers yang menjadi pemersatu pemikiran-pemikrian untuk mengubah
negeri. Mereka lebih memfokuskan diri pada isu-isu yang ada diwilayah kampus
saja, dan seperti tidak lagi menyuarakan aspirasi rakyat.
Tulisan-tulisan yang tertuang dalam terbitan
majalah, tabloid, buletinpun sudah tidak lagi mengkritik secara dalam kebijakan-kebijakan
yang dianggap menyeleweng. Karena saat
ini posisi persma dalam situasi yang dilematis. Persma memiliki fungsi sebagai
pengawasan,
kritik, dan saran bagi kebijakan dan
kepentingan umum, yang masih dibawahi oleh kampus. Sedangkan kampus merupakan objek utama
pemberitaan Lembaga Pers Mahsisa (LPM).
Lirik lagu Persma berjuang yang sering dilantunkan oleh
mahasiswa-mahasiswa merupakan refleksi diri bahwa persma seharusnya tetap
mempertahannkan ideologinya yaitu ‘Perlawanan’. Rasa takut sering kali muncul
dalam benak mahasiswa untuk mengkritik kebijakan-kebijakan kampus lebih dalam.
Rasa takut tersebut didasari oleh kekhawatiran pada nasib jadi mahasiswa lebih
memiliherkuliahannya. Akhirnya, mereka lebih memilih diam dari pada harus di keluarkan dari kampus.
Selain itu juga, menurunnya minat baca
menyebabkan banyaknya tulisan yang
terbengkalai. Rasa keingintahuan mengenai kampusnya sendiri masih sangat minim.
Padahal dalam setiap terbitan dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) tidak memungut biaya sepersen pun dari pembacanya. Itulah yang kadang
menjadi kesedihan dari anggota-anggota persma itu sendiri.
Keadaan tersebut merupakan segelintir dari
permasalahan yang ada di Lembaga Pers Mahasiswa. Ketika persma tak lagi seperti
awal kemunculannya, perlawanan persma tak lagi lantang. Persma seakan bungkam
terhadap birokrasi kampus.
Penulis : Anisa
Maulina. Mahasiswa jurusan KPI semester 4 IAIN Purwokerto.
0 Komentar