![]() |
Iilustrasi : Sri Roijah |
Bulan ini seharusnya masuk musim tanam padi, tapi banyak
sawah di desaku yang terbengkalai. Jerami dibiarkan menumpuk.
Rumput tumbuh liar. Hanya beberapa petani saja yang
beraktifitas seperti biasa. Padahal sawah di desaku begitu subur. Sawah yang terbelah oleh aliran sungai ini telah menghidupi keluarga di desa kami dari generasi
ke genarasi. Sawah yang terkenal sebagai pengasil padi terbaik. Sawah yang
sering menjadi objek penelitian mahasiswa dari kota.
Seperti pada umumnya sawah di tempat lain, di sawahku ada
juga orang-orangan sawah. Bukan untuk mengusir hama. Tapi untuk mainan
anak-anak petani yang ikut ke sawah. Para petani di desaku tak pernah pusing
dengan hama yang menyerang. Kami beranggapan bahwa ketika hama menyerang,
itulah waktu bagi kami untuk berbagi rejeki dengan mahluk lain. Kami masih
berkecukupan bila hanya padi kami dimakan hama. Semua itu karena kesuburan
tanah di sini, jadilah orang-orangan sawah dibuat selucu mungkin agar anak-anak
betah di sawah.
Anak-anak petani biasanya menunuggu orang tua mereka di
gubuk. Hampir setiap petani punya gubuk di sawahnya masing-masing. Adalah
kehadiran kakek warno (kakekku ) yang
selalu ditunggu anak-anak. Usianya tujuh puluh tahun. Ia adalah pendongeng yang
baik. Itu
sebabnya anak-anak menyukainya.
Kakek sering bercerita tentang asal usul orang orangan
sawah. Dahulu
kala orang-orang di desa ini sukanya hura-hura, pesta miras
dan judi setelah panen raya. Ditengah kehidupan warga desa yang
tak beraturan. Sawah sebagai penghasilan utama mereka terserang hama sampai bertahun-tahun. Paceklik
berkepanjangan menyebabkan warga
desa kelaparan. Salah satu Sesepuh desa mendapat bisikan gaib yang
menyuruh agar warga desa membuat orang orangan sawah dengan jerami. Singkat
cerita hama tak lagi menyerang. Dan mereka sadar bahwa sikap hura-hura telah
mendatangkan malapetaka, lambat laun orang-orang desa kembali ke jalan yang benar. Orang-orangan
sawah mulai dibuat dengan wajah tersenyum ramah. Seperti perasaan warga desa
yang selalu bahagia sebab
padi tumbuh subur. Benar
atau tidaknya cerita kakek tanyakan sendiri kepadanya.
Kakek
juga sering bercerita tentang Dewi Sri; lambang kesuburan khususnya padi. Ketika kutanya kenapa petani tidak menanam
padi ia menjawab “Dewi Sri sedang marah, bisa kualat kalau tetap menanam padi”.
Tentang Dewi Sri kakek juga sering berpesan kepada bapaku kalau punya anak perempuan berilah nama Dewi Sri agar
selalu berlimpah kemakmuran.
Salah
satu petani yang tetap beraktifitas adalah pak Barjo; tuan tanah sekaligus ketua
kelompok tani di desaku. Ia petani
sukses yang tak sungkan membagikan ilmunya kepada petani lain. Rumahku sering
dijadikan tempat rapat kelompok tani itu. Dari balik dinding aku sering menguping
pembicaraan mereka. Termasuk pembicaraan tentang monster yang tengah menyerag sawah. Karena penasaran, suatu hari aku memberanikan bertanya langsung kepada pak Barjo.
“kenapa
para petani tak menanam padi”
“sawah
kita
sedang diserang monster”
“apa
monsternya besar?”
“ya
besar sekali, dia punya banyak tangan, kukunya tajam. Ia sangat rakus. Apa saja
bisa dimakan. Tapi tak pernah kenyang, bahkan kalau bumi ini juga dimakan.”
“menakutkan
sekali”
“makannya
sekolah yang bener, nanti kamu bisa mengalahkan monster jahat itu”
“siap
pak Barjo”
Sebenarnya kepalaku masih dipenuhi tanda tanya tentang
kenapa para petani tidak menanam padi. Kata kakek karena Dewi Sri sedang marah,
tapi kata pak Barjo karena ada monster. Jadi mana yang benar?
Ditengah kebimbanganku, banyak perubahan yang terjadi pada
warga desa, terlebih mereka yang menggarap sawah. Kini rumah mereka berubah. Tak lagi berdinding
anyaman bambu. Ada juga yang punya sepeda motor atau mobil baru. Tapi dibalik
semua itu, Tak ada lagi obrolan hangat di warung kopi milik mbok cumleng. Tak ada lagi tegur sapa atau
senyum ramah yang keluar dari wajah mereka. Lebih asik mengurung diri di rumah baru mereka.
Kabar duka datang
dari tetangga ku. Pak Rasam atau bapaknya sikin (sahabat karibku) meninggal.
Ada yang bilang ia dibunuh ada pula yang bilang ia mati karena monster itu. Sejak
kematian pak Rasam yang juga anggota kelompok tani. pertemuan kelompok tani
semakin sering. Bahkan sampai larut malam.
“monster itu tidak bisa dibiarkan”
“ya.. berapa korban lagi harus berjatuhan?”
“saya lebih ikhlas padi saya dimakan hama dari pada dimakan
monster itu”
“sabar
bapak-bapak, kita harus tetap tenang
menghadapi masalah ini, jangan grusa grusu” pak Barjo menengahi
“tapi
apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa diam saja”
“benar....
benar”
“besok
malam kumpulkan semua jerami yang
tersisa di sawah kalian, kita bikin orang-orangan sawah untuk mengusir
monster itu”
Malam harinya, rumahku menjadi keramaian di tengah
suasana desa yang sepi. Anggota kelompok tani sibuk membuat orang-orangan
sawah, berbeda dengan orang-orangan sawah yang biasanya berwajah ramah dan
lucu. Kali ini orang-orangan sawah dibuat menyeramkan. Bahkan ada beberapa yang
dilumuri darah ayam. Sampai larut malam seratus orang-orangan sawah berhasil
dibuat. Malam itu juga orang-orangan sawah dipasang.
“ besok
pagi kita berangkat ke sawah dan hadapi monster itu!” seru pak Barjo
“ bunuh
para monster sialan”
“
monster bajingan yang telah memakan sawah kami ”
Ketika matahari
sepenggalah naik. Anggota kelompok tani dan keluarganya yang telah cukup umur
berangkat ke sawah, dipimpin pak Barjo di tengah, di sampingnya ada bapaku dan
ibuku. Anak-anak dan lanjut usia tak ada yang boleh ikut, termasuk kakekku.
Aku hanya memandang dari jauh. Di bawah
pohon beringin, bersama kakek dan teman-temanku.
Di
tengah sawah sana. Kelompok tani berhadapan dengan polisi dengan senjata
lengkap; seolah akan menghabisi teroris. Jadi apa itu monsternya? Pikirku.
Keadaan mulai tak tekendali. Kelompok tani itu membakar orang-orangan sawah.
asap membubung tinggi, terdengar suara tembakan ke udara. Tak lama kemudian
kelompok tani membubarkan diri. Kembali kerumah masing-masing. Pak Barjo pulang
kerumahku. Ia tak berani pulang kerumahnya. Katanya monster itu sedang mencari
dirinya.
Dua hari
sejak kejadian itu, suasana desa semakin mencekam. Orang-orang baru keluar rumah ketika ada keperluan. Masjid yang
biasanya penuh oleh jamaah sholat, kosong seketika. Pak Barjo mengajaku pergi ke sawah.
“ apa
monster-monster itu yang kemarin berseragam polisi” tanyaku memulai.
“ bukan.
Monster itu tidak terlihat”
“ mereka
bersembunyi?”
“ ya
mereka bersembunyi”
Bekas kobaran orang-orangan sawah menyambut kedatanganku,
pak Barjo berjalan gontai, memandang sawah-sawahnya, air mukanya tidak
menunjukan ia sedang bahagia. Lalu pak Barjo memanggilku. Menunjuk papan bertuliskan
“TANAH INI MILIIK PT.
Sejahtera Bersama”.
“ apa
kita kalah dari monster itu?”
“ kita
telah melawan dengan sebaik-baiknya dengan sehormat-hormatnya. Kalaupun kita
kalah. Kita kalah dengan sebaik baiknya, juga sehormat-hormatnya”
Kini tak
ada lagi orang-orangan sawah di sawah. Beberapa
warga membuat orang-orangan sawah dengan wajah menyeramkan untuk dipasang di
depan rumah mereka. Sekedar untuk mengenang, katanya. Sawah di
desaku telah berubah menjadi pabrik yang katanya-entah kata siapa- dapat
mensejahterakan warga desa, mengentaskan dari kemiskinan.
MIftahul
Aziz, lahir di Banyumas 09 juli 1995. Santri Al Amien Purwokerto Wetan. Sedang menyelesaikan
studi di IAIN Purwokerto prodi Pendidikan Bahasa Arab. Berusaha menjadi anak
yang manis.
0 Komentar