 |
Ilustrator: Alya OBS |
Bertahan hidup sebagai pekerja perempuan di kota
industri bukan hal yang mudah. Ini dirasakan Ayu dan beberapa kawan pekerja
perempuan lainnya yang mencari rezeki di perusahaan-perusahaan besar di
Purbalingga, Jawa Tengah.
Berdasarkan data yang dilansir Badan Pusat
Statistik, Purbalingga memiliki 411
perusahaan. Beberapa perusahaan andalannya adalah aksesoris kecantikan seperti
bulu mata dan rambut palsu yang dikenal sebagai perusahaan eksportir yang
terbesar di Indonesia. Ratusan pabrik di Purbalingga berhasil menyerap sekitar
46.000 pekerja dengan 2/3-nya adalah perempuan yang mayoritas berlatar belakang
pendidikan lulusan SD sampai SMA.
Ayu (24), bukan nama sebenarnya, salah satu buruh
perempuan yang bekerja di perusahaan yang bergerak dalam produksi rambut palsu
atau wig. Suaminya yang bekerja sebagai karyawan di toko dengan penghasilan di
bawah UMK (Upah Minimum Kabupaten), mengharuskan Ayu untuk ikut bekerja agar
roda perekonomian keluarganya tetap berputar.
“Alhamdulillahnya sesuai UMK, Mba. Soalnya
dihitungnya harian bukan borongan. Tapi suami masih di bawah UMK. Toko kecil.
Ya bisa untuk keperluan sehari-hari,” kata Ayu kepada LPM OBSESI IAIN
Purwokerto.
Sebagai pekerja yang menikah di usia muda, Ayu mengaku
menunda kehamilannya sebisa mungkin. Tidak adanya cuti melahirkan membuatnya
berhati-hati agar tidak hamil. Pasalnya, ketika kelak ia mengandung dan
memasuki bulan kelahirannya, ia dilepastugaskan oleh perusahaan.
“Sebisa mungkin nunda dulu buat punya anaknya.
Soalnya ngga ada cuti hamil untuk karyawan biasa. Paling kalau hamilnya udah
besar putus kontrak, nanti bisa daftar lagi. Tapi, tergantung posisinya udah
ada yang mengisi apa belum. Kalau keterima, seperti karyawan baru lagi,” ujar
Ayu.
Menurut Ayu, cuti melahirkan hanya diberikan kepada
pekerja yang memiliki posisi tertentu seperti administrasi, supervisor, staf,
karena posisi mereka yang dianggap sulit mencari penggantinya.
“Kalau karyawan seperti saya banyak gantinya, jadi
ya harus usaha biar gak di-PHK. Usaha keras biar gak hamil dulu, tapi kalau
malah hamil ya itu kan rezeki. Jadi mumpung belum hamil dan bisa kerja ya
hemat, nabung dulu, buat sangu besok setelah lahiran dan nganggur kan,” kata Ayu
yang tidak punya pilihan, kecuali harus menunda hamil.
Apalagi, bagi Ayu, sekarang apa-apa makin mahal.
Biaya melahirkan dan kebutuhan-kebutuhan
bayi sangat mahal buat Ayu dan suaminya.
“Kalau bergantung sama penghasilan suami ya kasian,
pasti pontang-panting,” demikian perhitungan Ayu.
Nasib yang sama dirasakan Ani (26), juga bukan nama
asli, yang bekerja di perusahaan ekspor yang memproduksi rambut palsu atau wig
terbesar di Purbalingga. Suaminya bekeja di perusahan kayu. Mereka meiliki anak
berumur 4 tahun. Menurut Ani perusahaannya memberikan cuti melahirkan selama
tiga bulan, tetapi selama cuti tidak ada upah yang dibayarkan.
“Cuti melahirkan ada tiga bulan, tapi gak ada
bayarannya, santunan juga gak ada,” ungkap Ani.
Ia menceritakan, dengan tidak dibayarkannya upah ini
membuatnya harus berhemat di bulan-bulan sebelumnya untuk memenuhi kebutuhan
setelah melahirkan.
“Saya denger sih kalau perusahaan lain cuti
melahirkan tetep dibayar upahnya, tapi perusahaan saya enggak. Ya gimana lagi,
pas usia kehamilan masih muda: menghemat pengeluaran buat ditabung untuk biaya
melahirkan sama kebutuhan lainnya,” Ani menjelaskan.
Apalagi kalau mengambil cuti, lanjut Ani, pemasukan
hanya dari bayaran yang didapat suami, yang hanya cukup buat makan sehari-hari.
Padahal, anak mereka mau masuk TK, sehingga harus dipersiapkan biayanya.
Meskipun dirasa tidak puas dengan kebijakan
perusahaan, Ani tetap bertahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Diterima aja. Masih untung gak di PHK, setelah cuti
bisa kerja lagi. Kalau mengundurkan diri juga cari kerjanya lebih susah,
apalagi dengan status menikah dan punya bayi. Belum lagi, kalau nantinya
diterima jadi karyawan kontrak yang kadang bayarannya di bawah UMK,” kata Ani
dengan pasrah.
Cuti
melahirkan memang sudah diatur dalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 82 ayat (1) bahwa
Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum
dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau
bidan.
Dengan
pernyataan pekerja terkait hak cuti melahirkan yang enggan diberikan oleh pihak
perusahaan, LPM OBSESI sudah beberapa kali menghubungi masing-masing HRD
perusahaan tersebut, akan tetapi keduanya tetap menolak untuk memberikan pernyataan
apapun.
Tidak Hanya Cuti Melahirkan, Cuti
Haid pun Tak Kunjung Dipenuhi
Tidak
berhenti dipersoalan cuti melahirkan yang alot diberikan kepada pekerja
perempuannya, perusahaan juga abai terhadap kebijakan cuti haid yang sudah
dijamin dalam pasal UU Ketenagakerjaan.
Hal
ini diakui oleh Meli (24) bukan nama asli, salah satu pekerja perempuan di
perusahaan ekspor yang bergerak dalam memproduksi aksesoris kecantikan bulu
mata palsu. Meli menuturkan beberapa pekerja tersebut mengetahui terkait adanya
regulasi yang mengatur tentang cuti haid, tetapi perusahaannya tidak memberikan
cuti haid.
“saya
tau ada cuti haid, tapi di tempat saya ga ada. Kebijakan pabrik kalau
pekerjanya sakit menstruasi diberi waktu istirahat selama satu jam, jika
sakitnya berlanjut, pakainya izin sakit yang upahnya dipotong, kalau sebelum
jam 12 malah gak dibayar,” ujar Meli saat dihubungi via Whatsapp oleh LPM
OBSESI (20/7).
Selain
itu, Meli juga mengaku sering merasakan sakit akibat kram perut dan nyeri
pinggang saat hari pertama menstruasi. “Kerjanya
sambil duduk, sudah biasa duduk berjam-jam, tapi ya tetap kalau lagi mens,
pinggangnya lebih nyeri. Kalau sudah sakit banget baru izin istirahat ke Poli
kesehatan. Sejam saja, setelah itu kerja lagi, daripada pulang bayarannya
dipotong, padahal kalau mens kebutuhan kan juga tambah,” ujar Meli.
Tidak
hanya Meli, Ani juga menuturkan di perusahaan tempat ia bekerja, tidak ada cuti
haid, jika ia merasa kesakitan, ia tahan hingga jam istirahat. Selain itu, alih-alih
memberikan cuti haid, perusahaannya
lebih memilih untuk tidak mempekerjakan perempuan yang memiliki permasalahan dengan
sirkulasi menstruasi.
“Karyawan disini tau adanya cuti
haid, tapi pabrik ini ga ada kebijakan apa-apa
soalnya pas awal wawancara masuk kerja ditanyain ada keluhan menstruasi
atau tidak, kalau ada ya nanti langsung ga diterima jadi karyawan. Sering merasa
pinggang lebih nyeri tapi ditahan sampai jam istirahat setela itu kram kaya biasa,” jelas Ani.
Ani
juga menuturkan jika ada pekerjanya yang terus menerus izin sakit karena
menstruasi, ini akan ditindaklanjuti oleh pihak HRD. Menurutnya, selain
pemotongan upah, hal ini juga membuat pekerja perempuan sungkan untuk memakai
izin sakitnya jika masih bisa ditahan.
Mengetahui
adanya persyaratan tersebut dalam mencari pekerja,Effen Kurniawan selaku
Mediator Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja (Dinaker) Purbalingga,
mewajarkan hal tersebut dan menyerahkan sepenuhnya ke perusahaan.
“Kalau
belum bekerja ya masih kewenangan dari perusahaannya. Misal nih. Kalau sakit
satu -dua hari ya wajar, kan ada beberapa perempuan yang sakitnya melebihi satu
minggu, atau bahkan ada yang sampai pingsan, itu menjadi perhatian serius.
Karena itu kan kualifikasi pengusaha untuk mencari pekerja yang sesuai kriteria
biar tidak menjadi persoalan. Sejauh belum ada hubungan kerja, itu kewenangan
perusahaan,” kata Effen kepada LPM OBSESI saat ditemui di kantor Dinas Tenaga
Kerja Purbalingga (21/7).
Dinas Tenaga Kerja Hanya Bersifat
Perdata dan Hanya Mengedukasi.
 |
Ilustrator: Alya OBS
|
Menanggapi
beberapa cuti yang belum dipenuhi oleh beberapa perusahaan, Effen Kurniawan
selaku Mediator Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja (Dinaker) Purbalingga
mengatakan tidak terpenuhinya cuti haid sudah menjadi hal yang biasa dan wajar
ditemukan di beberapa perusahaan.
“Memang
sudah ada di pasal 81 dengan menyertakan Surat Keterangan Dokter. Artinya,
sakitnya dibuktikan. Harusnya kalau ada SKD tetap dibayar. Untuk upah itu
normatif, seharusnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Cuman yang jadi masalah dan sering kita temui, pertama ada karyawan yang sakit
haid tapi malu minta SKD ke dokternya, kemudian malu bilang ke perusahaannya
dan teman-temannya. Jadinya pakai izin biasa. Yang mana, izin biasa konsekuensinya ga kerja ya no pay. Sejauh ada
SKD seharusnya dibayar sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan,” ujar Effen.
Menyikapi
hal-hal yang berkaitan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 upaya yang
terus dilakukan oleh dinaker untuk meminimalisir pelanggaran yang dilakukan
perusahaan dan mengimplementasikan regulasi yang sudah ada yakni dengan
mengedukasi. “Dinaker itu sendiri melalui bidang keindustrian nanti mediator
dari bidang lainnya melakukan pembinaan.
Karena kan dinaker itu sifatnya edukatif. Dalam hal ini kalau misal ada
pelanggaran, tugas kita menegurnya, kemudian memberikan pembinaan untuk
seharusnya seperti apa,”
jelas
Effen.
Selain
itu pula, Dinaker mengaku selalu memberikan teguran kepada perusahaan yang
tidak taat dengan regulasi yang ada. Dinaker harus menunggu dulu ada laporan
dari pekerja perusaha tersebut, karena menurutnya jika tidak ada aduan yang
masuk, mereka menganggap bahwa semua baik-baik saja.
“Untuk teguran ya, cuma ini butuh adanya pengakuan dari pekerjanya
itu sendiri.Mereka pekerja tidak mengadu ya kami anggap aman-aman saja, semua
lumrah terjadi. Setelah ada pengaduan itu baru ada pemeriksaan, kemudian nota
pemerikasaan satu, jika belum dipenuhi lanjut ke nota pemeriksaan dua, kemudian
baru berita acara. Adanya pembinaan, koordinasi dengan pegawai pengawas untuk
dilakukan penindakan yang bersifat edukatif,” ujarnya.
Effen
juga menuturkan bahwa segala bentuk perselisihan yang dialami antara pekerja
dengan pengusaha diselesaikan secara bipartit karena menurutnya perselisihan
tersebut bersifat privat bukan umum, dan bersifat perdata bukan pidana.
“Kalau
misal, tidak ada hasilnya maka mereka
mencatatkan risalahnya, kemudian baru dari dinas dimediasi dan harus melalui
nota perundingan tingkat perusahaan” tambahnya.
Catatan Komnas Perempuan; Hak Cuti dan
Haid, Masalah di Banyak Perusahaan.
Menyikapi
pernyataan pekerja perempuan yang tidak mendapatkan cuti melahirkannya Tiasri Wiandani selaku komisioner Komnas Perempuan mengatakan bahwa segala hal yang berhubungan
dengan fungsi reproduktif tenaga kerja perempuan sudah diatur secara khusus
dalam UU Ketenagakerjaan.
“Kita
bicara tentang kehamilan itukan sebagai hak dasar perempuan, termasuk fungsi
reproduksinya dalam konteksnya untuk ketenagakerjaan hak perempuan sudahdiatur
secara khusus di UU. Disitu adaaturan tentang cuti-cuti lainnya, seperti cuti
melahirkan, cuti haid, keguguran, menyusui,” ujarnya ketika dihubungi melalui panggilan
suara Whatsapp (21/7).
Menurut
Tiasri, pekerja yang mengambil cuti melahirkan tidak boleh mengalami pemutusan
hubungan kerja dan seharusnya upah mereka dibayar sesuai dengan biasanya. “Pekerja
perempuan yang mengambil cuti melahirkan, harusnya upah tetap dibayar
sebagaimana mestinya. Kalau upahnya sesuai UMK ya dibayarkan UMK, kalau UMP ya
UMP. Tidak boleh ada pengurangan upah selama masa cuti ”Kata Tiasrih kepada LPM
OBSESI via panggilan suara whatapp kedua kali(29/7).
“Dalam
UU ketenagakerjaan jelas aturannya bahwa perusahaan tidak boleh melakukan PHK
kepada pekerjanya yang sedang mengambil cuti melahirkan meskipun bahasanya bukan
PHK tetapi tekanan pemaksaan mengundurkan itukan bagian dari PHK. Nah,
sebenarnya ini yang selalu menjadi masalah bagaimana perusahaan masih banyak
yang belum taat pada ketentuan peraturan perundangan yang sudah diberlakukan,”
tegasnya.
Tidak
hanya cuti melahirkan, cuti haid juga seharusnya tidak dikenakan pemotongan
upah. “Ya itu juga melanggar ketentuan dalam UU pasal 81 dan 82 karena
pengambilan cuti haid ini tidak boleh ada pemotongan upah. Itu sudah diatur
secara khusus juga bahwa hak cuti haid menjadi hak dasar perempuan yang
sifatnya normatif. Jadi ketika pekerjanya mengambil cuti haid tidak boleh ada
pemotongan upah dan perusahaan tidak bisa menggunakan alibi atau peraturan
internal perusahaan yang bertentangan dengan Perpu,” jelasnya.
Salah
satu upaya Komnas perempuan dalam mewujudkan terpenuhinya hak buruh yakni dengan dengan selalu mengkampanyekan
tentang hak-hak dasar perempuan yang harus dipenuhi oleh perusahaan.
“Komnas
perempuan selalu memberikan kampanye kepada publik bahwa ada hak-hak dasar
buruh perempuan yang harus dilaksanakan oleh perusahaan. Yang kedua memang
mendorong pemerintah melalui kementerian tenaga kerja, pemberdayaan perempuan,
agar hak buruh ini dilindungi dan pelaksanaan di lapangan itu bisa dilakukan
tanpa adanya pelanggaran,” kata Tiasri.
Selain
itu, Tiasri juga menuturkan bahwa kewenangan dalam industrial antara pekerja
dan pengusaha merupakan kewenangan pengawasan yang ada di kementrian tenaga
kerja dengan tiap wilayah ada satuan pengawas dinas tenaga kerja. Sehingga fungsi, peran dan tanggungjawab dinas
pengawasan tenaga kerja beroperasi untuk memastikan regulasi peraturan
perundang-undangan dijalankan.
Tiasri mengatakan, Dinaker memiliki hak pengawasan terhadap perusahaan tanpa harus
menunggu laporan dari pekerjanya. “Memang dinas tenaga kerja memiliki fungsi
pengawasannya, seharusnya tanpa menunggu laporan dari pekerjanya dinas tenaga
kerja punya wewenang untuk mengawasi perusahaan yang beroperasi. Nah itu PR nya
adalah bagaimana mendorong fungsi pengawasan agar benar-benar menjalankan
fungsi kewenangan dan tanggungjawabnya untuk memastikan regulasi peraturan itu
berjalan di perusahaan dan menutupi peluang-peluang pelanggaran,” ujarnya.
Harapan Mereka Para Pekerja
Perempuan
Ayu,
Meli dan Ani sangat menaruh harapan agar perusahaan-perusahaan di Purbalingga
memenuhi hak-hak pekerja perempuannya, terutama cuti haid, hamil dan
melahirkan. Ketiganya tidak habis pikir mengapa perusahaan-perusahaan yang
mempekerjakan karyawan yang mayoritasnya bahkan hampir seluruhnya perempuan
tetapi tidak ramah dan memenuhi hak-hak pekerja perempuan.
Bukan
berarti bekerja di perusahaan-perusahaan besar pengekspor aksesoris kecantikan
lantas kesejahteraan karyawannya diperhatikan, sebaliknya banyak perusahaan
yang tidak patuh pada aturan dan undang-undang yang berlaku.
Akibatnya
banyak sekali pekerja perempuan yang terpaksa menunda kehamilannya agar tidak
dilepastugaskan oleh perusahaannya. Mereka pun sama seperti Ayu, Meli dan Ani
berharap agar pemberian cuti melahirkan dipenuhi perusahaan secara merata.
“Semoga
segera cuti melahirkan diberlakukan ke semua karyawan perempuan, tidak pilih
kasih hanya karyawan yang memiliki posisi penting saja. Kan yang melahirkan ya
sama-sama perempuan, masa yang boleh punya anak dan karirinya lancar tanpa
takut di PHK cuma yang posisinya tinggi saja,” harap Ayu.
Ani
juga berharap cuti melahirkan dan cuti-cuti lainnya yang menjadi hak perempuan
diberlakukakan sesuai regulasi dengan pengawasan yang ketat dan serius dari
pemerintah.
“Cuti
itu disamaratakan semua perusahaan sesuai aturan undang-undang. Di sini kan ada
Dinas Tenaga Kerja, semoga saja ke depannya Dinas Tenaga Kerja ya kerja, gitu,
peduli sama urusan (warganya yang menjadi) karyawan,” pungkas Ayu
Reporter: Aulia Insan
Liputan ini merupakan program beasiswa dari Serikat
Jurnalis Untuk Keberagaman (Sejuk) bekerja sama dengan Friedrich Naumann
Foundation FNF Indonesia dalam Fellowship Liputan, dengan tema “Anak Muda dan
Penyebaran Jurnalisme Keberagaman di Masa Pandemi Corona“.
0 Komentar