![]() |
Ilustrasi oleh: Alya OBS |
Sabtu siang itu Tugiri
tidak menderes nira pohon Aren. Pekerjaan sehari-harinya tersebut tidak
dilakukan karena istri dari pria penganut Islam Aboge ini baru meninggal tiga hari
sebelumnya.
Dalam suasana duka,
kepada LPM OBSESI Tugiri yang merupakan salah satu tokoh Islam Aboge membagikan
kemasygulannya seputar amalan Islam Aboge yang semakin ditinggalkan generasi
muda di lingkungannya. Padahal, masyarakat Desa Karang Bawang, Ajibarang, masih
kental menerapkan tradisi Islam Alif Rebo
Wage (Aboge).
Bagaimanapun,
tradisi Islam Aboge yang mempunyai keunikan dalam perhitungan kalender atau
penanggalan Jawa banyak digunakan oleh masyarakat Banyumas, Jawa Tengah, terutama
di daerah Ajibarang, untuk menentukan hari, tanggal, bulan, dan tahun Jawa.
Dari menentukan hari baik untuk bepergian, bercocok tanam, hajatan seperti
pernikahan, sunatan, sampai upacara-upacara keagamaan dihitung menggunakan
penanggalan Jawa khas Aboge. Kalender Jawa biasanya disebut dengan kalender
Kurup (asal kata Arab).
“Nama-nama
tahun penanggalan Jawa dalam Aboge berawalan huruf Arab, yakni alip, ehe, jimawal,
je, dal, be, wawu, jimakir. Alif itu sebutan tahun pertama dari satu windu
tahun dalam kalender Jawa,” papar Tugiri (14/11).
Diakui Tugiri, kini komunitas
Islam Aboge kebanyakan berada di desa-desa terpencil di Banyumas. Ia pun merasa
sangat bertanggung jawab untuk melestarikan tradisi beserta ritual-ritual Aboge
yang sudah turun-temurun mengakar lewat laku kejawen.
Dua Aboge
Menurut ayah dari 5
anak ini Aboge terbagi menjadi dua, yaitu Aboge Putihan dan Aboge Abangan. Aboge
putihan tetap menjalankan syariat atau kewajiban dalam Islam seperti salat,
puasa, zakat, dan haji, namun tidak meninggalkan tradisi Islam kejawen. Sementara
Aboge abangan tidak menjalankan segala bentuk kewajiban syariat Islam. Aboge
abangan hanya menjalankan peribadatan atau ritual kejawen.
“Mereka berpegang pada Sastro
Jowo Hayo Ningrat, yaitu ilmu kejawen yang tidak menjalankan kewajiban
ajaran Islam. Sembahyangnya dengan bersemedi atau tapa seperti di kamar tiga
hari tiga malam agar mendapat wejangan dari Gustinya,” ujar Tugiri.
Berbeda dengan abangan,
Islam Aboge atau Aboge putihan, lanjut Tugiri, memiliki kitab sejak jaman nenek
moyang bernama Al Manak Aboge. Kitab ini berisi tentang tauhid, risalah salat,
fikih, doa-doa, yasin, dan tahlil. Kitab tersebut sudah sejak dahulu diyakini
Tugiri dan penganut Islam Aboge sebagai dasar ajaran umat Islam pada umumnya,
sebelum Al-Qur’an tersebar di tanah Jawa dan sangat mudah
diakses seperti saat ini.
Yang menyamakan Aboge
putihan dan abangan adalah praktik perhitungan penanggalan Jawa. Kedua Aboge
ini, sambung Tugiri, menggunakan rumus dan panduan yang sama.
Selain itu, ia juga
menceritakan tentang pengalamannya saat berproses belajar penanggalan Aboge
bersama para sesepuh. Hari-harinya pun sudah ditentukan seperti malam Senin
kliwon, Jum’at kliwon atau biasa disebut dengan hari-hari angker. Sebelum mengaji
harus menjalankan amalan atau tirakat berupa puasa dan ngasrep (mengonsumsi
makanan tanpa bumbu garam, gula, dan bumbu-bumbu lainnya). Semua itu menurut Tugiri
bertujuan agar yang dipelajari mudah masuk dan menempel pada jiwa.
Merawat
Tradisi, Menghidupkan Toleransi
Tugiri
tahu persis selalu ada ketegangan antara para penganut Islam Aboge dengan Islam
mainstream. Namun begitu, ia berharap
agar perbedaan amalan peribadatan, tradisi, dan penanggalan dari kedua Islam
itu tetap disikapi secara damai.
Ia
juga sangat berharap kerja sama dan suasana guyub di antara masyarakat yang
menganut Islam Aboge dengan yang meyakini Islam mainstream tetap terjaga. Bagaimanapun, dalam keseharian warga
mayoritas Islam di Banyumas yang berafiliasi pada Nahdlatul Ulama maupun
Muhammadiyah tidak sedikit yang masih mengamalkan penanggalan Jawa.
“Untuk
memenuhi hajatan jejodohan tetangga, baik NU maupun Muhamadiyah, saya
kerap diminta menghitung dan menentukan tanggal yang baik untuk melangsungkan
pernikahan. Bahkan dipanggil sebagai srana saat begalan (yaitu menikahkan
anak sulung dan bungsu) agar terhindar dari penyakit rumah tangga menggunakan
perhitungan tradisi Aboge,” ungkap Tugiri.
Harapan
besar itu bercermin dari pengalaman sepanjang hidup Tugiri di desanya. Islam Aboge
yang ia anut tidak selalu dipandang baik oleh seluruh masyarakat di desa Karang
Bawang. Ia kerap mendapat perlakuan berbeda dari warga di sekitar rumahnya.
Hal
ini biasanya terjadi terutama ketika menjelang Ramadan dan Syawal. Cibiran tak
jarang ia dapatkan hanya karena penetapan tanggal 1 Ramadon dan 1 Syawal atau
Idul Fitri berbeda dengan Muslim mayoritas di desanya.
Beberapa tetangganya sengaja
mengatakan kepadanya, kalau tanggal awal puasa tidak sama seperti Muslim
mayoritas di lingkungannya yang berafiliasi dengan NU, maka puasa yang
dijalankan oleh para penganut Islam Aboge itu batal. Tugiri dan para pengamal
Islam Aboge memilih menyikapi polemik Ramadan dan Syawal itu dengan menghormati
penanggalan Islam (Hijriyah). Ia tetap meyakini bahwa puasanya tidak batal
hanya karena perbedaan tanggal.
“Yang berhak menentukan
batal atau tidak bukanlah manusia, tapi Allah,” tegas Tugiri.
Ketua Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) Banyumas M. Roqib juga membenarkan adanya perbedaan penanggalan
ini. Menurutnya Islam Aboge selalu selisih dalam penentuan tanggal awal
Ramadan, Syawal, dan Idul Adha di setiap tahunnya. Hal ini terjadi, bagi Roqib,
karena proses perhitungan yang berbeda, sehingga mempunyai konsekuensi dalam
penetapan hasil yang berbeda juga.
Ia memaparkan bahwa
dalam konteks Islam ada hak ikhbar
dan hak isbat. Ikhbar kata Roqib untuk memberikan informasi terhadap keyakinan
maupun komunitas yang dianut, tetapi yang berhak menetapkan isbat itu pemerintah. Organisasi hanya
memberitahukan saja.
“Jika pemerintah
menyampaikan untuk menyerentakkan puasa, ya itu kewajiban pemerintah menyampaikan.
Maka, ditaati atau tidak, itu kembali pada dasar yang mereka yakini sesuai
syariat Islam,” jelas Roqib.
Roqib pun sebagai Ketua
FKUB mengedepankan penghormatan dan toleransi terhadap prinsip atau
penghitungan masing-masing, agar masyarakat Banyumas tetap hidup harmonis.
“Aboge
meyakini konteks hisabnya itu seperti Muhammadiyah. Kalau Muhammadiyah
ditolerir, maka harusnya Aboge juga ditolerir,” ucap Roqib dengan pasti.
Jadi, Roqib berupaya
menegaskan kembali, kalau dalam konteks penghormatan pada pendapat atau
keputusan Muhamadiyah yang mendasarkan pada hilal dan hisab bisa ditoleransi, maka
terhadap komunitas Islam Aboge yang mendasarkan pada hisab saja juga harus
dihormati. Roqib memilih sikap agar perbedaan pendapat tidak perlu
dipertentangkan secara tajam.
Peran
Pemuda Merayakan Keberagaman
Perselisihan penanggalan dan prinsip
penetapan Ramadan, Syawal, dan Idul Adha di Kecamatan Ajibarang maupun Desa
Karang Bawang disikapi masyarakat dengan cara dewasa. Interaksi Islam Aboge
dengan warga sekitar tidak ada masalah.
Suasana harmonis ini sangat dirasakan oleh
Tugiri. Meskipun ia menjadi bagian kelompok Islam yang minoritas di masyarakat,
menurutnya semua perbedaan tidak sampai berujung konflik yang serius. Seluruh
interaksi sehari-hari tetap berjalan baik.
Tugiri juga aktif mengikuti berbagai kegiatan
yang diselenggarakan para tokoh agama yang afiliasinya NU, seperti pengajian,
maulidan maupun tahlilan. Baginya hal tersebut tidak masalah karena sesuai
dengan Syariat Islam.
Wakil Ketua Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul
Ulama (IPPNU) Ranting Karang Bawang, Ajibarang, Tika Eviana ikut mendorong hubungan
harmonis antara warga Islam yang mayoritas dengan komunitas Islam Aboge di
desanya. Sebagai pemuda, ia menaruh harapan kepada sesama anak muda agar
menguatkan toleransi di tengah perbedaan praktik-praktik beragama di
masyarakat.
“Kami tetap menjalin hubungan persaudaraan
yang baik dengan penganut Islam Aboge, apalagi sesama umat Islam. Walau kadang
perbedaan itu ada, namun tidak masalah untuk kami, asalkan tidak mengganggu dan
merugikan orang lain,” ungkap Tika
Sikap Tika ini didasarkan pada pandangannya
bahwa adanya perbedaan ajaran dalam Islam oleh para pemeluknya menjadi alasan
kuat untuk saling menghormati, bukan memperuncing konflik.
“Kami sama-sama mempunyai dasar ajaran, maka harus
saling menghargai saja,” ujar perempuan berusia 21 tahun ini.
Sejalan dengan Tika,
Dian (21) yang juga tinggal di Karang Bawang
mengungkapkan, walaupuan Islam Aboge minoritas, tetapi masyarakat tetap toleran
dan menghargai karena tradisi Aboge sudah
turun temurun, sejak dulu.
“Contohnya
waktu lebaran silaturrahmi, sungkeman, kadang ada sebagian orang Aboge yang open
house padahal mereka masih puasa dan ada juga yang sama sekali tidak
menerima tamu sampai mereka selesai puasa di penanggalannya” ujar Dian, bukan
nama asli, yang ingin menunjukkan betapa perbedaan penetapan Syawal dan Idul
Adha sama-sama dipraktikkan oleh masyarakat secara positif dan bukan dengan memperuncing
ketegangan.
Dian,
sebagai anak muda yang merupakan bagian dari warga Muslim mayoritas, sebelumnya
tidak menyadari kalau di sekitar rumahnya ada penganut Islam Aboge. Ia baru
tahu ketika di suatu maghrib sepulangnya dari salat berjamaah ia melihat
sekelompok orang berkumpul seperti melakukan aktivitas yang terpisah dari
Muslim yang mayoritas, kemudian sampai rumah ibunya memberi tahu bahwa mereka
adalah Islam Aboge.
Ia
tidak pernah tahu kalau ada kawan-kawan sepermainannya yang ternyata orang
tuanya adalah pemeluk Islam Aboge. Bisa jadi karena di beberapa tempat di
Banyumas para pemeluk Aboge mendapat stigma buruk dari umat Islam lainnya
sehingga mereka, terlebih anak-anak muda dari Islam Aboge, tidak berterus
terang dengan tradisi beragama Aboge yang dijalaninya.
Untuk itulah Tugiri menaruh harapan besar
kepada keluarganya yaitu anak, cucu untuk mempertahankan praktik Islam Aboge
yang diyakininya. Setidaknya, kata Tugiri, ada dua dari kelima anaknya yang
tetap mewarisi tradisi dan ajaran Islam Aboge.
“Saya mengajarkan kepada anak-anak saya agar
tradisi Aboge tetap terjaga, genting tan ono pedote. Artinya, tradisi
yang diturunkan dari nenek moyang ini jangan sampai putus dan harus dilestarikan,”
harapnya.[]
Reporter: Atin Nurul H
***
Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang
digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan
Friedrich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit (FNF) dan Kementrian Hukum dan Hak
Asasi Manusia.
1 Komentar
Keren tulisannya 👍
BalasHapus