![]() |
Ilustrasi: Media Indonesia |
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto sedang ramai
mempersiapkan pesta demokrasi via daring. Hal ini merupakan hal baru dan
perdana yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan Mahasiswa (PPM) IAIN Purwokerto.
Berbagai strategi baru mulai muncul dari masing-masing kubu, mulai dari
pembuatan pamflet-pamflet yang berisi kata-kata bijak, dagelan,
plesetan-plesetan kata yang secara halus mengajak pembaca melihat ataupun
memilih dirinya maupun video pengenalan ala tik-tok yang berisi pengenalan
calon-calon yang nantinya akan bersaing di Pemiluwa.
Strategi baru ini disebut sebagai strategi branding-politik, secara
sederhana branding sendiri adalah “pemberian merek” terhadap suatu produk untuk
memberikan kesan yang tidak bisa dilupakan dari ingatan konsumen. Brand bisa
dikatakan identitas atau kepribadian yang mengidentifikasikan suatu produk,
layanan maupun lembaga dalam bentuk nama, tanda, simbol, desain maupun
kombinasi diantara semua itu. Sedangkan dalam panggung politik, branding sering
kali diartikan sebagai tindakan pencitraan atau pembangunan image terhadap si
kandidat terkait karekter personal si kandidat.
IAIN Purwokerto sudah melewati masa ini dimana sebelum hari
kampanye, branding sudah berkeliaran hebat di media sosial terutama dijumpai di
WhatsApp, karena WhatsApp salah satu media yang lebih private dan lebih
personal.
Melihat hal tersebut, Jalbi Hasanul Fikri, selaku Ketua Panitia
Pengawas Pemiluwa (Panwasluwa) menganggap sebagai sesuatu yang biasa saja dan
bukanlah pelanggaran.
“Sebenarnya gini, sempat kemarin ada gugatan yang masuk terkait hal
tersebut. Kembali ke definisi kampanye yang tadi saya jelaskan, ya. Bagi saya
itu bukan termasuk pelanggaran. Karena saya juga melihat langsung di WhatsApp
saya, itu termasuk kategori branding. Branding setiap individu. Jadi kalau saya
melarang hal itu, sama saja saya melanggar hak seseorang untuk berekspresi. Nah
di dalam Undang-undang pun sudah dijelaskan meskipun disitu ada kategori
gambar, gambar yang seperti apa? Gambar yang mengandung unsur kampanye pastinya.
Nah di dalam (poster) itu, saya tidak menangkap tuh apasih sebenarnya kampanye,
kampanye seperti apa. Yang saya lihat disitu hanya ada quotes-quotes,
nasehat-nasehat seolah mereka adalah tetangga Mario Teguh. Karena kalau misal
disini itu, kita (PPM dan Panwasluwa) hanya membatasi bukan melarang,” ujarnya
kepada Reporter LPM OBSESI saat ditemui di Sekretariat PPM (17/01)
Menurut Panwasluwa, berkeliarannya pamflet-pamflet yang berisi
gambar masing-masing kandidat bukanlah sebuah pelanggaran, karena hal tersebut
masih dalam kategori branding yang justru ketika Panwasluwa menganggap hal
tersebut merupakan pelanggaran, sama halnya Panwasluwa dan PPM lah yang
melakukan pelanggaran karena secara tidak langsung mereka telah melanggar Hak
Asasi Manusia setiap orang.
Meskipun tidak sedikit dari
mereka (pasangan calon) yang menyebarkan pamflet-pamflet maupun video, bergerak
bersamaan secara masif dan serentak sebelum masa kampanye dilangsungkan, dan
ada beberapa yang bahkan sudah menyebutkan nomor urut paslonnya dan ajakan
untuk memilih dengan bahasa plesetan. Dengan hal semacam itu, PPM dan Panwas
tetap bersikukuh menganggap sebagai
branding, kecuali jika kandidat yang terkait menggunakan kata-kata yang jelas
mengajak orang lain untuk memilihnya itu yang bisa dikatakan sebagai
pelanggaran.
“Tidak apa-apa. Karena tidak termasuk dalam pelanggaran. Dan itu
pun saya lihat dan saya diskusikan dengan teman-teman, bahwa itu branding.
Kalau misal itu dikategorikan pelanggaran, semua calon masuk dalam pelanggaran
tersebut. kecuali didalamnya ada ajakan, misal “pilih satu, saya adalah generasi penerus bangsa”
gitu,” jelasnya.
Penyebaran pamflet-pamflet maupun video masing-masing kandidat
membawa respon pula untuk mahasiswa IAIN Purwokerto, salah satunya Syarif Hidayat
yang merasa bahwa penyebaran pamflet-pamflet yang ada di WhatsApp sangat
meresahkan, mengganggu karena merupakan bagian dari kampanye sebelum waktunya.
“Sebenarnya secara tidak langsung itu adalah bagian dari kampanye,
meskipun tidak ada atribut-atribut partai dan sejenisnya. Namun pamflet yang
tersebar di status WA yang katanya berisi quotes itu menampilkan wajah-wajah
dari calon ketua ataupun calon wakil ketua LK yang mendaftar,” Jelas Syarif kepada salah satu tim reporter LPM OBSESI via WhatsApp (17/01).
Menurut Syarif jika pamflet
yang bertebaran di WhatsApp benar-benar hanya sekadar quotes, rasanya hanya
cukup dengan nama kandidat saja tidak perlu dibubuhi foto dari masing-masing
kandidat karena hal itu jelas tidak mengurangi esensi dari quotes itu sendiri.
Syarif juga menyebutkan bahwa brending yang dibuat oleh salah satu kandidat
dengan menggunakan viedo tik tok itu polanya sama seperti yang dilakukan paslon
Lembaga Kemahasiswaan di kampus lain yang ada di Purwokerto.
“Tapi sepertinya hal tersebut lumrah-lumrah saja bagi PPM dan
Panwaslu, ya mau gimana lagi”. ungkap Syarif yang merasa kecewa dengan pemiluwa
tahun ini.
Reporter : Wardah Munfaati dan Aulia Insan
1 Komentar
Yey
BalasHapus