Ticker

6/recent/ticker-posts

Pesta Demokrasi Daring, Strategi Branding Melengking

 

Ilustrasi: Media Indonesia

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto sedang ramai mempersiapkan pesta demokrasi via daring. Hal ini merupakan hal baru dan perdana yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan Mahasiswa (PPM) IAIN Purwokerto. Berbagai strategi baru mulai muncul dari masing-masing kubu, mulai dari pembuatan pamflet-pamflet yang berisi kata-kata bijak, dagelan, plesetan-plesetan kata yang secara halus mengajak pembaca melihat ataupun memilih dirinya maupun video pengenalan ala tik-tok yang berisi pengenalan calon-calon yang nantinya akan bersaing di Pemiluwa.

Strategi baru ini disebut sebagai strategi branding-politik, secara sederhana branding sendiri adalah “pemberian merek” terhadap suatu produk untuk memberikan kesan yang tidak bisa dilupakan dari ingatan konsumen. Brand bisa dikatakan identitas atau kepribadian yang mengidentifikasikan suatu produk, layanan maupun lembaga dalam bentuk nama, tanda, simbol, desain maupun kombinasi diantara semua itu. Sedangkan dalam panggung politik, branding sering kali diartikan sebagai tindakan pencitraan atau pembangunan image terhadap si kandidat terkait karekter personal si kandidat.

IAIN Purwokerto sudah melewati masa ini dimana sebelum hari kampanye, branding sudah berkeliaran hebat di media sosial terutama dijumpai di WhatsApp, karena WhatsApp salah satu media yang lebih private dan lebih personal.

Melihat hal tersebut, Jalbi Hasanul Fikri, selaku Ketua Panitia Pengawas Pemiluwa (Panwasluwa) menganggap sebagai sesuatu yang biasa saja dan bukanlah pelanggaran.

“Sebenarnya gini, sempat kemarin ada gugatan yang masuk terkait hal tersebut. Kembali ke definisi kampanye yang tadi saya jelaskan, ya. Bagi saya itu bukan termasuk pelanggaran. Karena saya juga melihat langsung di WhatsApp saya, itu termasuk kategori branding. Branding setiap individu. Jadi kalau saya melarang hal itu, sama saja saya melanggar hak seseorang untuk berekspresi. Nah di dalam Undang-undang pun sudah dijelaskan meskipun disitu ada kategori gambar, gambar yang seperti apa? Gambar yang mengandung unsur kampanye pastinya. Nah di dalam (poster) itu, saya tidak menangkap tuh apasih sebenarnya kampanye, kampanye seperti apa. Yang saya lihat disitu hanya ada quotes-quotes, nasehat-nasehat seolah mereka adalah tetangga Mario Teguh. Karena kalau misal disini itu, kita (PPM dan Panwasluwa) hanya membatasi bukan melarang,” ujarnya kepada Reporter LPM OBSESI saat ditemui di Sekretariat PPM (17/01)

Menurut Panwasluwa, berkeliarannya pamflet-pamflet yang berisi gambar masing-masing kandidat bukanlah sebuah pelanggaran, karena hal tersebut masih dalam kategori branding yang justru ketika Panwasluwa menganggap hal tersebut merupakan pelanggaran, sama halnya Panwasluwa dan PPM lah yang melakukan pelanggaran karena secara tidak langsung mereka telah melanggar Hak Asasi Manusia setiap orang.

Meskipun  tidak sedikit dari mereka (pasangan calon) yang menyebarkan pamflet-pamflet maupun video, bergerak bersamaan secara masif dan serentak sebelum masa kampanye dilangsungkan, dan ada beberapa yang bahkan sudah menyebutkan nomor urut paslonnya dan ajakan untuk memilih dengan bahasa plesetan. Dengan hal semacam itu, PPM dan Panwas tetap bersikukuh menganggap  sebagai branding, kecuali jika kandidat yang terkait menggunakan kata-kata yang jelas mengajak orang lain untuk memilihnya itu yang bisa dikatakan sebagai pelanggaran.

“Tidak apa-apa. Karena tidak termasuk dalam pelanggaran. Dan itu pun saya lihat dan saya diskusikan dengan teman-teman, bahwa itu branding. Kalau misal itu dikategorikan pelanggaran, semua calon masuk dalam pelanggaran tersebut. kecuali didalamnya ada ajakan, misal “pilih  satu, saya adalah generasi penerus bangsa” gitu,” jelasnya.

Penyebaran pamflet-pamflet maupun video masing-masing kandidat membawa respon pula untuk mahasiswa IAIN Purwokerto, salah satunya Syarif Hidayat yang merasa bahwa penyebaran pamflet-pamflet yang ada di WhatsApp sangat meresahkan, mengganggu karena merupakan bagian dari kampanye sebelum waktunya.

“Sebenarnya secara tidak langsung itu adalah bagian dari kampanye, meskipun tidak ada atribut-atribut partai dan sejenisnya. Namun pamflet yang tersebar di status WA yang katanya berisi quotes itu menampilkan wajah-wajah dari calon ketua ataupun calon wakil ketua LK yang mendaftar,” Jelas Syarif kepada salah satu tim reporter LPM OBSESI via WhatsApp (17/01).

 Menurut Syarif jika pamflet yang bertebaran di WhatsApp benar-benar hanya sekadar quotes, rasanya hanya cukup dengan nama kandidat saja tidak perlu dibubuhi foto dari masing-masing kandidat karena hal itu jelas tidak mengurangi esensi dari quotes itu sendiri. Syarif juga menyebutkan bahwa brending yang dibuat oleh salah satu kandidat dengan menggunakan viedo tik tok itu polanya sama seperti yang dilakukan paslon Lembaga Kemahasiswaan di kampus lain yang ada di Purwokerto.

“Tapi sepertinya hal tersebut lumrah-lumrah saja bagi PPM dan Panwaslu, ya mau gimana lagi”. ungkap Syarif yang merasa kecewa dengan pemiluwa tahun ini.


Reporter : Wardah Munfaati dan Aulia Insan

Posting Komentar

1 Komentar