Ticker

6/recent/ticker-posts

Ahmadiyah Banjarnegara Hidupkan Cinta di Tengah Kubangan Stigma

 

Ilustrator : Iqbal

“Keseharian kami sama seperti masyarakat lainnya, keakraban kami dengan masyarakat non-Ahmadiyah sekitar juga cukup terjalin dengan baik. Dikegiatan donor darah yang menjadi rutinitas kami, bahkan banyak dari kalangan non-Ahmadiyah yang mengikutinya.”

Demikian mubalig Ahmadiyah Banjarnegara Nurhadi menuturkan sikap dan aksi para jemaat yang tetap bersemangat dalam mengembangkan secara rutin kerja-kerja sosial dan perdamaian di wilayahnya. Tumbuh sebagai minoritas di tengah masyarakat yang melabeli stigma-stigma negatif memang tantangan yang tidak mudah, termasuk yang dialami Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tinggal di Dusun Krucil, Banjarnegara.

Menurut Nurhadi, jemaat Ahmadiyah tidak merasa terganggu dengan masyarakat yang menolak berkenalan, mengenal dan memahami mereka. Sebaliknya, laki-laki berusia 64 tahun ini lebih antusias dalam menceritakan jemaat Ahmadiyah Banjarnegara yang selalu fokus untuk menanamkan benih kasih sayang.

“Bertahun-tahun hubungan jemaat Ahmadiyah Banjarnegara dengan warga sekitar yang harmonis adalah buktinya,” ungkap Nurhadi melalui pesan suara ketika dihubungi crew LPM OBSESI IAIN Purwokerto (4/4).

Nurhadi kembali meyakinkan, melalui motto ‘Love For All, Hatred For None' yang sudah menjadi ideologi utama Ahmadiyah, JAI mengupayakan aksi cinta damai antarsesama umat manusia, tidak peduli seberapa banyak masyarakat yang berasumsi negatif terhadap mereka.

Akan tetapi kegiatan-kegiatan sosial yang dilaksanakan oleh Jemaat Ahmadiyah Banjarnegara tidak serta-merta dapat menghapus stigma negatif dari masyarakat begitu saja. Sebelum pandemi Covid-19, jemaat Ahmadiyah Banjarnegara sempat mengadakan acara Jalsah Salanah (muktamar tahunan), namun saat itu mereka sempat mendapati gangguan dari beberapa masyarakat yang menolak adanya acara tersebut.

Salah seorang jemaat perempuan Ahmadiyah Yeyet (50) tidak berkecil hati terhadap resistensi tersebut.

“Kami (Ahmadiyah) sudah ada di Banjarnegara sejak puluhan tahun yang lalu. Jadi, ketika kemarin ada salah satu acara kami yang mendapatkan kecaman atau penolakan dari warga, itu kami anggap hanya segelintir masyarakat yang belum mengenal jauh Ahmadiyah,” ujar Yeyet yang merupakan Ketua Lajnah Imaillah, organisasi sayap Ahmadiyah yang anggotanya adalah para perempuan.

Ahmadiyah dalam Gerakan Lintas Iman

Tidak seperti kasus-kasus Ahmadiyah di daerah lainnya yang pernah mengalami kejadian kelam, di Dusun Krucil, Banjarnegara, justru masyarakat saling hidup berdampingan satu sama lain. Kepala Desa Wilongan, Sutarman (60), yang juga memimpin Dusun Krucil, memaparkan betapa warganya yang hidup dalam perbedaan tidak serta-merta menghapus rasa humanis dan kebersamaan. Baik yang Ahmadiyah maupun non-Ahmadiyah hidup membaur dan saling bergotong-royong.

“Memang benar, mayoritas masyarakat di Dusun Krucil ini merupakan pemeluk Ahmadiyah, ada juga yang non-Ahmadiyah, tapi warga di sini saling guyub. Rukun kok selama ini. Karena Ahmadiyah sudah ada disini dari berpuluh-puluh tahun lalu juga, jadi mereka sudah terbiasa hidup berdampingan,” ucap Sutarman.

Sementara, Risa (23) salah satu anggota Ahmadiyya Muslim Students Association for Women (AMSAW), yang merupakan organisasi mahasiswi muslim Ahmadiyah, menuturkan bahwa pemuda-pemudi Ahmadiyah pun kerap kali mengadakan beberapa acara bersama dengan orang muda dari komunitas lain. Ia mencontohkan acara Chai Time yang dilakukan di Yogyakarta. Acara ini dihadiri oleh muda-mudi dari Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC), Srikandi Lintas Iman (Srili), dan muda-mudi lintas agama lainnya.

“Ini menjadi salah satu ajang rabtah (pertemanan) kami dengan masyarakat. Kegiatan silaturahim ini menjadi jalan upaya kami untuk dapat menghapus dan meluruskan stigma-stigma masyarakat terhadap Ahmadiyah yang selama ini beredar,” ujar mahasiswi dari salah satu kampus di Yogyakarta ini.

Kegiatan Kemanusiaan Ahmadiyah

Selain AMSAW dan AMSA (mahasiswa laki-laki) yang membangun relasi antaragama, Lajnah Imaillah Banjarnegara saat ini menjadi gerbong Ahmadiyah yang terus aktif di akar rumput terlibat di berbagai kegiatan sosial seperti Posyandu, pelatihan keterampilan ibu-ibu rumah tangga warga sekitar, dll. Bahkan ketika terdapat tamu-tamu non-Ahmadiyah yang datang untuk mencari informasi kegiatan para jemaat, para anggota Lajnah Imaillah yang menjadi peran utama dalam penyambutan tamu.

Walaupun selama ini mereka hidup dalam kubangan stigma sesat dan sebagainya, kegiatan-kegiatan sosial Ahmadiyah justru semakin marak. Meskipun pemberitaannya tidak banyak, tetapi publik Indonesia bisa melacak aktivitas-aktivitas sosial-kemanusiaan muslim Ahmadiyah yang terbukti dari pencapaian kegiatan sosial donor kornea mata jemaat Ahmadiyah yang mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI) sebagai pendonor terbanyak.

Donor darah juga dilakukan secara rutin di berbagai cabang Jemaat Ahmadiyah. Humanity First Indonesia (HFI) yang bergerak dalam aksi-aksi kemanusiaan aktif sekali merespon bencana dengan tidak hanya membantu bahan-bahan pokok yang dibutuhkan korban, HFI juga memberi bantuan di bidang kesehatan, pengadaan sanitasi dan air bersih, MCK (mandi, cuci, kakus) dan sebagainya. Sehingga, tidak heran jika HFI yang berada dalam naungan jemaat Ahmadiyah ini sudah setahun lebih sangat aktif dalam merespon dampak pandemi.

HFI cepat merespon gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh, Nias, Padang, Lombok, Yogyakarta, Palu, Banten dengan membuka posko. Begitupun ketika terjadi bencana alam besar lainnya seperti banjir bandang, longsor, dan badai, HFI hadir. Para petinggi HFI, Kandalai Ahmad Lubis dan Ahmad Masihuddin, ketika dihubungi Kamis (8/4) menjelaskan proses bantuan sedang diusahakan segera turun di Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan memusatkan di wilayah Kupang dan Alor yang terdampak oleh kerusakan berat badai siklon tropis seroja.

Beda Paham, Sama dalam Kemanusiaan

Masih menurut Nurhadi, selama ini masyarakat belum bisa menerima keberadaan Ahmadiyah karena mereka jarang yang berkomunikasi dan mengkonfirmasi secara langsung perihal Ahmadiyah. Akibatnya, banyak orang yang salah paham terhadap keberadaan Ahmadiyah, terutama mengenai kegiatan yang jemaat lakukan. Mereka menganggap bahwa ibadah dan kepercayaan Ahmadiyah sesat atau menyimpang.

Perbedaan yang paling mendasar antara Ahmadiyah dengan paham Sunni yang menjadi paham muslim mayoritas di Indonesia, lanjut Nurhadi, sebenarnya adalah keyakinan tentang Imam Mahdi. Perbedaan pada sisi praktek ibadah nyaris tidak ada. Syahadat, tata cara shalat juga praktik ibadah mereka pun bahkan sama persis dan tidak berbeda dengan muslim pada umumnya.

“Ada yang bilang kiblat kami tidak menghadap Makkah, syahadat kami berbeda, dan macam-macam tuduhan lainnya. Padahal itu semua salah. Rukun Islam kami sama, kiblat kami sama, syahadat kami sama, Al-Quran kami juga sama. Kalau misalkan masih ada yang berasumsi seperti itu, ya itu hanya orang-orang yang kurang tabayun saja,” terang Nurhadi terkait kekeliruan masyarakat selama ini.

Terkurung dalam paham-paham masyarakat yang menilainya sesat bukan menjadi alasan para jemaat Ahmadiyah Banjarnegara memendam rasa kecewa dan amarah. Nurhadi menegaskan bahwa jemaat justru mencoba bertahan dengan kekuatan sang khaliq dalam upaya terus-menerus menciptakan kehidupan yang damai, memperbanyak aksi kemanusiaan.

Hal serupa ditempuh kalangan muda Ahmadiyah. Cinta untuk semua, benci tidak untuk siapapun mendarah daging dalam amalan jemaat Ahmadiyah. Sejak muda darah para anggota AMSAW dan AMSA disumbangkan kepada siapa saja yang membutuhkan, tidak memandang iman dan latar belakang penerimanya.

“Fokus kami saat ini hanyalah beribadah kepada Allah, berbaur dengan masyarakat sekitar dan menyebarkan benih-benih kebaikan. Toh, berbuat baik itu juga merupakan salah satu bentuk dari ibadah,” ujar Risa.

Kawan-kawan Risa setiap dua bulan secara rutin menggelar aksi donor darah. Sepanjang masuk kriteria pendonor, menurut Risa, mudi dan muda Ahmadiyah mendonorkan darahnya untuk siapa saja yang membutuhkan, sebagai komitmen kemanusiaan yang diajarkan Ahmadiyah.

“Jika ada oknum yang mendzalimi kami, kami berusaha sebisa mungkin untuk tidak memiliki rasa dendam agar kondisi tetap harmonis,” tutupnya.[]

Reporter : Fajrul

***

Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Posting Komentar

0 Komentar