Sumber: Tribunnews |
Setelah semalam
suntuk terkunci dari luar, Maksum ditemukan mati terkapar di ranjang reyot berukuran
120x200 cm. Jenazahnya yang kurus mengeluarkan aroma tidak sedap. Aroma itu
berasal dari tahi manusia yang berceceran di sekitar ranjangnya. Terlihat bekas
popok teronggok membentuk gunungan tinggi. Terdapat agas mengerumuni sisa makanan
dan gelas kosong berisikan ampas. Wajah pucatnya seakan menunjukkan bahwa sisa
hidup ia kesepian dan merana. Tak tahu pasti kronologi terkunci hingga nahas. Turi,
Ibu kandung Maksum, orang pertama yang menemukannya terbujur kaku dini hari
tadi. Bak pemain ebeg terkena indang, Turi meraung-raung histeris sambil
melempar apa saja yang ada disekitarnya. Perbuatannya sontak mengundang kaki
berduyun-duyun datang membawa kekhawatiran yang membumbung tinggi.
Rumah yang jarang mengakrabkan diri
itu, kini, ramai didatangi warga dusun. Mereka yang melihat Turi tersungkur di
lantai sambil terisak-isak membopongnya ke ruang tamu di samping kamar Maksum. Pak
Kayim menyusul masuk hendak menunaikan tugasnya untuk menalkin dan mendoakan. Ritual
yang bertolak belakang dengan simbol salib yang terpajang di dinding kamar
Maksum. Bukankah itu mengartikan akidah Maksum sebagai umat Kristen? Tapi
orang-orang acuh hingga tak mengindahkan. Warga dusun itu hanya mengenal Maksum
sebatas pemuda yang tidak menjalankan ibadah selebihnya menganut agama apa
menjadi urusan pribadi. Namun seorang warga yang turut menyaksikan peristiwa
itu berkomentar, “kok ditalkin?”
“Agamanya gak
jelas, Ji. Cari aman.”
“Lah itu simbol
apa? Jelas begitu kok,” terangnya sambil menunjuk krusifiks yang menarik atensi
banyak pasang mata.
Tiba-tiba suara
ayam terdengar, memberi sinyal fajar mulai terang. Orang-orang memilih
mengakhiri kerunyaman dan memulai persiapan pemakaman. Terlebih bukan sikap
bijak mempermasalahkan agama mayat di situasi genting semacam ini.
Lamat mengamati, kematian Maksum
tidak riuh tangis kesedihan keluarga yang ditinggalkan. Turi yang semula menangis
kedapatan diam sembari melamun. Delon dan Anggun, anak-anak Maksum pun tidak
menampakkan duka. Serasa mereka telah tabah dengan segala perkara yang menimpa.
Sebab sejak lama keluarga Maksum dipandang sebagai manusia terselubung rumor; dari
seorang bandit, lintah darat, perusak rumah tangga, sampai gosip tentang nasab
anak-anaknya yang tidak jelas. Tak luput rumor perkawinan Maksum dengan Unang,
perempuan yang ditemuinya pada saat di kota perantauan itu tidak sukses, dan
sempat mempunyai tiga anak. Beredar kabar istrinya direbut orang dan Maksum
ditinggalkan. Kandas rumah tangga kembali terulang pada perkawinan keduanya
yang masih seumur jagung. Beredar kabar istrinya minggat ke negeri seberang
lantaran Maksum pengangguran.
“Sekarang di
rumah aja, Sum?”
“Pemulihan.”
“Anak istri ya
diboyong?”
“Gak, minggat.
Mau cari deket desa sini aja.”
“Pengobatannya?”
“Operasi
kemaren, sekarang ya gini gak ada tenaga. Allah Tuhan Yesus lagi ngehukum aku!”
Pemakaman Maksum telah rampung tanpa
masalah berarti, orang-orang bubar membawa pertanyaan-pertanyaan yang tak
terjawab dan mengendap di kepala. Simpang siur kematian Maksum menjadi buah
bibir warga dusun. Dugaan kematian yang disengaja hanya ada di benak mereka dan
tak berani terucapkan. Namun seorang gadis dusun itu tanpa tedeng aling-aling
bertanya, “Meninggal di kamar posisi kekunci dari luar? Apa gak mencurigakan?.”
“Sssttt! Jangan
ngomong asal, Tun.”
“Kali aja
pembunuhan.”
“Tun, mau
ngegosip ya pelanin suaranya.”
“Ck.. Anak-anaknya
aja pada aneh. Bapaknya mati kagak nangis sama sekali.”
“Gak nangis bukan berarti gak merasa
kehilangan. Jangan menormalisasi kudu
nangis di hari kematian seseorang.”
“Gimana gak
berprasangka jelek wong ya keluarganya kontroversi semua.”
“Baru rumor,
gak banyak saksi mata.” Lantaran itu pula orang-orang mudah membuat spekulasi
apa saja terkait kebobrokan Maksum dan keluarganya.
Maksum. Kini hanya sebuah nama yang
lambat laun terkubur zaman. Semasa muda adalah pria gagah yang diam-diam
menjadi primadona gadis desa. Ia memiliki paras rupawan, kulit cokelat, dan
postur tubuh yang proposional hasil dari pekerjaannya sebagai tukang bangunan.
Tuah fisik demikian tak ayal mengundang kedengkian pria lain seusianya. Banyak
cinta kandas lantaran sang tambatan hati gemar melakukan perbandingan bibit
ketimbang melihat bebet maupun bobot.
“Sum.. Maksum,
terus aja gak klamben terus
pamer-pamer dada begitu! Gimana janda dusun pada gak meleng tiap hari disodorin
begituan. Sampean sengaja? Menikmati? Jan
wong.. wong. ” Maksum hanya menyeringai.
“Walah gak
ngandel!”
Penulis: Sri Subekti (Mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Prof. K.H. Saifuddin
Zuhri Purwokerto)
Editor: Dwi Aryanti, Ghulama Rashif Faza
0 Komentar